Dibalik Daun yang Berserakan


 

Ada satu kisah yang membuat saya menangis. kisah ini saya dapatkan dalam buku Kang Jalal atau K.H. Jalaluddin Rakhmat yang berjudul Rindu Rasul : Meraih Cinta Ilahi Melalui Syafa’at Nabi saw.  (Rosda:2001). Di sini saya kutipkan kisah ini untuk Anda walaupun mungkin ada di antara pembaca yang sudah pernah mendengarnya.

Dahulu, di sebuah kota di Madura, terdapat seorang nenek penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai berjualan, ia pergi ke Masjid Agung di kota itu. Lalu ia pun berwudhu, memasuki masjid dan shalat dzuhur. Setelah mebaca wirid dan doa sekadarnya, ia pun keluar masjid, lalu membungkuk-bungkuk di halaman. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran. Selembar demi selembar dikaisnya, tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja perlu waktu lama untuk membersihkan halaman masjid dari dedaunan yang jatuh dari pohon dengan cara seperti itu. Padahal, jika tengah hari, sengatan matahari di Madura sungguh menyengat. Keringat pun mengucur dari tubuh yang kurus dan mulai rapuh itu.

Banyak pengunjung masjid yang merasa iba kepadanya. Hingga suatu hari, takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum si nenek datang. Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai menunaikan shalat, ketika hendak mengerjakan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun berserakan di situ. Ia kembali lagi ke dalam masjid dan lalu menangis. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang pun menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “jika kalian kasihan padaku,” kata nenek itu, ”berikan aku kesempatan untuk membersihkannya.”

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan daun-daun yang berserakan seperti biasanya. Seorang kyai yang terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan tua itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan daun-daun di halaman masjid. Ia pun mau menjelaskan sebabnya dengan 2 syarat. Pertama, hanya Pak Kyai yang mendengarkan rahasianya. Kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meninggal, dan kita bisa mendengarkan rahasia itu.

“Saya ini perempuan bodoh , Pak Kyai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari kiamat tanpa syafaat Kanjeng Rasulullah. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya telah membacakan shalawat kepadanya.”

Ketahuilah, apa pun yang menjadikanmu tergetar, itulah yang terbaik untukmu!
Dan karena itulah, qalbu seorang pencinta-Nya lebih besar dari Singgasana-Nya (Jalaluddin Rumi)

Mencintai sesuatu memiliki konsekuensi  untuk memberi sesuatu itu tempat istimewa di lubuk hati. Cinta adalah keping rasa yang terindah yang terus menerus bergerak dinamis. Cinta adalah reaksi kimia pencarian keseimbangan. Cinta adalah stoikiometri. Apabila reaksi ini berhasil membuat sebuah molekul cinta yang utuh, demikian seterusnya. Sampai mana dan kapan?? Sampai cinta benar-benar utuh dan tak hendak saling melengkapi lagi. Di mana itu?? Kapan itu?? Di muara tempat semua anak sungai cinta bertemu, di mata air tempat semua anak sungai cinta bersumber.

Yaah.. cinta akan mencapai kondisi ekuilibrium di sebuah tempat di mana awal dan akhir tidak ada bedanya. Di sebuah tempat ketika sebuah kata tanya sudah tak memerlukan lagi jawaban. Mengapa?? Karena cintalah yang mengawali dan pada gilirannya cintalah tempat kita menuju.

Lalu, di mana sebenarnya cinta itu?? Sejatinya, cinta bersemayam di “surga”. Surga yang mana? Surga yang kita bangun keping demi keping ]nya dengan sensasi rasa lembut, ingin memberikan yang terbaik, dan direkatkan dengan paku-paku cemburu, sakit hati, dan bahkan obsesi. Apabila paku-paku dan pasaknya terlalu dalam dibenamkan dan terlalu banyak ditancapkan, niscaya hati sebagai buruh cinta akan tertanus dan kejang-kejang. Kondisi inilah yang mengakibatkan hidup menjadi tidak tenang. Wahai jiwa jiwa yang tenang, kembalilah kepada Sang Maha Pencinta dengan anggun dan bermartabat!

Lalu, ketika seseorang diuji cintanya dengan siksaan badaniah, ia hanya berujar lirih.”Ahad ... Ahad ... Ahad ... satu yang ku mau dan hanya satu pula yang ku tuju.”Love will find a way, cinta akan menemukan pasangan aksennya, akan menemukan belahan hatinya.

Begitulah, ketika seseorang mencinta Nabinya, ia akan mencari seribu satu cara agar bisa menyalurkan rasa cinta itu. Nenek renta ini bukanlah seorang ulama terkenal, ia hanyalah seorang penjual bunga cempaka. Tidak banyak kata dalam kamus kehidupannya untuk mengungkapkan kerinduannya kepada Rasulullah. Namun, dengan kesederhanaan yang begitu jernih dan berbalut keikhlasan, ia telah mampu menginspirasi banyak orang untuk mempertanyakan sejauh mana kencintaannya kepada Rasulullah Saw. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini.

Sumber : Buku "Doa-Doa Terkabul"

-Semoga Bermanfaat-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Niqab Menjadi Gaya Berbusana

Cantiknya Berhijab

Macam-Macam Golongan Pemuda Dalam Liburan Sekolah