Nenekku : Pengabdian Diujung Senja
Oleh Raudah Jannah Oktaviani
Dalam mengarungi kehidupan yang
penuh dengan keterbatasan tidak membuat nenekku berputus asa untuk mencapai
cita-citanya. Berprofesi sebagai perawat adalah pekerjaan yang selalu menghiasi
hari-hari dari sosok yang saya banggakan. Meskipun di zaman dahulu, perawat
adalah profesi kelas tinggi dan masuk sekolah tersebut membutuhkan biaya yang
sangat mahal. Namun hidup di hiruk pikuk kota besar Jakarta, dan dibesarkan
oleh orang tua yang berpenghasilan hanya sebatas sebagai buruh pedagang kecil
tak membuat beliau menyerah atas keadaan yang ada.
Usia boleh tua, ramputpun nampak
mulai memutih dan terkadang pendengaran sedikit terganggu tak seperti dahulu
ketika masa muda. Namun kegigihan, pengorbanan, dan semangat juang mengabdi untuk masyarakat tak pernah luntur
dimakan usia.
Beliau adalah Samijah yang lahir
di Jakarta 02 Agustus 1952. Bertempat tinggal di Pondok Bambu, Cipinang Muara,
Jakarta Timur. Beliau anak ke tiga dari empat bersaudara. Seorang nenek yang
menginspirasi saya untuk terus belajar dan berjuang demi membahagiakan kedua
orang tua. Beliau adalah nenek yang tangguh, pantang menyerah dan penyayang.
Meskipun hanya mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Menengah Pertama sekarang
setara dengan Sekolah Menengah Atas, namun beliau tidak malu untuk mewujudkan
impiannya. Berbeda dengan anak-anak muda di zaman sekarang yang menyerah atas segala
keadaan.
Perjalan hidupnya dimulai ketika
ada tawaran untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi ikatan dinas. Sebelumnya
tidak pernah terpikir, karena keadaan ekonomi yang menutup harapan untuk dapat meneruskan
kejenjang yang lebih tinggi. Namun beliau tetap optimis bahwa rencana Allah
adalah rencana yang terbaik. Dengan serangkaian tes masuk ke sekolah
keperawatan di daerah Rawamangun
tersebut, akhirnya beliau diterima untuk menempa ilmu disana secara
gratis.
Hari demi hari menjalani PKL
dengan berkutat di dunia keperawatan tak membuat beliau merasa jenuh. Meskipun mendapat
jadwal dinas malam dari pukul 20.00 malam hingga 08.00 WIB pagi, mengelilingi
setiap sudut bangsal (kamar) pasien yang membutuhkan pertolongan, terjaga
hingga pagi menjelang. Rasa kantuk sering merambah cepat, tetapi beliau yakin dibalik
semua kelelahan dengan merawat pasien-pasien tersebut Allah akan menghadirkan
sepaket hikmah dan karunia-Nya.
Selama PKL banyak pengalaman luar
biasa yang beliau rasakan. Seperti ada pasien yang bercerita tentang kehidupan
keluarganya, ada yang mengeluh karena terlalu lama dirawat, ada yang tetap
tabah dan tegar dan masih banyak lagi. Dengan cerita tersebut membuat nenek
saya tertegun hingga menitikkan air mata, bersyukur, bahagia dan membuka
motivasi baru dalam mengarungi kehidupan ini. Bisa kita bayangkan bagaimana mengurus
orang-orang yang nyawanya sedang dipertaruhkan antara hidup dan mati, butuh
waktu, kesabaran dan kasih sayang untuk menghadapi mereka.
Dua tahun menempa ilmu di Sekolah
Keperawatan dengan dua kali PKL di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah
Sakit Persahabatan Jakarta, sekitar tahun 1972 beliau lulus dari sana. Di tahun
itu juga beliau kembali ditugaskan untuk memberikan perawatan dan pengabdiannya
di negeri seberang yaitu Madinah Al-Mukarromah. Ini adalah pengalaman luar
biasa yang sangat menakjubkan dalam perjalanan hidup beliau.
Sebagai TKHI (Tenaga Kerja Haji
Indonesia), beliau bersama rekan kerjanya bergatian bertugas di BPHI (Balai
Pengobatan Haji Indonesia). Disana beliau tinggal di penginapan yang telah
disediakan, tapi beliau lebih sering tinggal di BPHI karena mengurus
pasien-pasien yang sangat membutuhkan. Beliau tidur beralaskan karpet dan
makanan selalu dikirim oleh petugas haji setempat. Beliau membawa pasien dari
penginapan jama’ah haji ke BPHI, kebanyakan pasien disana menderita
penyakit ringan. Banyak diantara pasien
yang meninggal diperjalanan ketika hendak dibawa ke BPHI karena pada saat Wuquf
ke Arafah perjalanan sangat macet.
Disela-sela kesibukan merawat
pasien-pasien, terdapat waktu luang yang beliau sempatkan untuk melaksanakan
sholat wajib lima waktu di masjid Nabawi bersama dengan rekan tugasnya. Beliau
juga melaksanakan Qurban, kalau disana berqurban dengan seekor Unta. Dan berdoa
di Raudhah yang terletak di antara mimbar dekat makam (dahulu rumah)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan dari tempat istimewa tersebut,
beliau menamai cucunya dengan nama “روضة جنة”
(Taman Surga). Nama istimewa yang diberikan seorang nenek kepada sang cucu,
berharap pribadi sang cucu bisa tercermin dari nama tersebut. Aamiin
Hal yang membuat beliau merasa
sedih adalah ketika hari raya ‘Iedul Adha beliau tidak bisa sholat di Masjidil
Haram karena harus mengabdikan diri kepada Jama’ah yang sedang sakit dan
keadaan tempat yang sangat penuh. Tetapi beliau masih bisa melaksanakan sholat di
pelataran BPHI.
“Kalau udah di sana, rasanya gak
mau balik lagi ke Indonesia” ujar beliau dengan perasaan haru."
Dari sekian juta jama’ah haji
yang berada di sana, nenek saya merasa tak ingin meninggalkan Kota tersebut. Karena
di sanalah terdapat makam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang sangat
rindukan. Beliau percaya suatu hari nanti ketika hari perhitungan itu terjadi, kita
semua dapat bertemu dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alahi Wasallam. Aamiin..
Dengan usianya yang
semakin senja, beliau masih tetap bersemangat mengabdikan tenaga dan sisa umurnya
untuk masyarakat dengan membuka klinik dengan nama “Klinik Permata” yang telah
didirikan bersama almarhum suaminya di daerah Cikampek, Jawa Barat, Indonesia.
Saat ini nenek hidup sendiri,
setelah dua tahun yang lalu kakek pergi meninggalkannya untuk selamanya karena
penyakit kanker dan jantung yang diderita. Nenek hanya mengandalkan penghasilan
dari klinik pengobatan. Nenek yang rajin beribadah itu, tidak pernah memberikan
tarif tinggi dalam pekerjaannya. Baginya, berapapun hasil yang diperoleh itu
adalah rezeki dari Allah. Karena Allah sudah mengatur rezeki setiap hambaNya. Lalu,
bagaimana jika ada pasien yang
ternyata memberi sekadar dan terkadang tidak
memberi bayaran?
“Kalau kita menolong Allah, Allah
pasti menolong hambanya. Rezeki gak pernah tertukar. Kalau ada pasien yang gak
bayar niatin aja buat shodaqoh. Karena dengan itu membuka peluang rezeki lebih
banyak.” Tutur beliau dengan senyum ikhlasnya.
Nenek dan almarhum kakek adalah
orang yang selalu menginspirasi untuk terus maju dan belajar untuk
mencapai apa yang di cita-citakan. Dari mereka aku menemukan kekuatan baru
untuk tetap terus bertahan meskipun lika-liku kehidupan tak melulu berada
diatas.
Setiap manusia pasti memiliki
cerita hidup yang berbeda-beda. Dan inilah kisah hidup nenekku, berawal dari
orang yang biasa saja hingga sekarang dikenal oleh masyarakat sebagai mantri
(perawat) yang selalu mengabdikan dirinya untuk lingkungan sekitar.
Allah tak menyia-nyiakan hambanya
yang mau berusaha.
Tetap semangat untuk masa depan
yang cerah.
Komentar
Posting Komentar